Perlu, Pendidikan Karakter
Hari Pendidikan Nasional 2011 bertema “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa” merupakan keniscayaan untuk mewujudkan prestasi dengan tetap menjunjung tinggi budi pekerti. Itulah konsep pendidikan ideal yang penting dalam pembentukan akhlak anak bangsa yang diharapkan jadi fondasi dalam menyukseskan Indonesia Emas 2025.
Tema itu tepat. Mengingat, beberapa dekade terakhir, hati nurani kita digelisahkan oleh kemerebakan aksi kekerasan, budaya suap, kolusi, korupsi, nepotisme, manipulasi anggaran, dan gaya hidup glamor. Sungguh, kita merindukan Indonesia yang multikultur, memiliki jati diri sebagai bangsa beradab dan terhormat.
Dunia pendidikan dinilai tak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin. Namun lebih diorientasikan ke materialisme, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai moral, kemanusiaan dan kemuliaan budi pekerti.
Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi keintensifan pengembangan kecerdasan emosi dan spiritual. Tak pelak, apresiasi keluaran pendidikan kehilangan kepekaaan nurani, hedonis, arogan, dan miskin kearifan, pendidikan nalar eksploratif dan kreatif pun mundur.
Di Indonesia
Patut dipertanyakan, apakah sistem pendidikan kita sudah memiliki proporsi 20% hard skill dan 80% soft skill? Apakah pendidikan mampu menciptakan empat karakter bagi anak bangsa (Foerster, 1869-1966), yakni keteraturan berdasar nilai, keberanian memegang teguh prinsip, otonomi dalam keputusan, dan keteguhan pada komitmen? Dan, yang paling penting dan mendasar, apakah pengajaran ilmu (ekonomi) telah sesuai dengan akar budaya ekonomi Indonesia mengingat “ilmu tidak bebas nilai”?
Pendidikan karakter adalah konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945, khususnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasonal. Disebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementrian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design dengan empat konfigurasi karakter. Pertama, olah hati (spiritual and emotional development). Kedua, olah pikir (intellectual development). Ketiga, olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development). Keempat, olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Pendidikan karakter harus mampu menciptakan manusia yang memiliki karakter terbaik, yaitu bertakwa, berilmu tinggi, dan bermanfaat bagi masyarakat. Pendidikan karakter harus dilakukan melalui pembudayaan dan pembiasaan hidup dengan tata nilai yang diyakini kebenarannya yang dapat mengubah hal-hal yang lahiriah dan jiwa manusia sehingga jadi manusia bertakwa.
Proses pengajaran harus memberikan dimensi moralitas budaya Indonesia dari setiap materi ajar. Sebab, buku teks yang digunakan umumnya dari Barat yang tak bebas nilai. Ilmu yang diajarkan harus tersambung dengan konteks Indonesia, baik konteks ideologi, sosial, kultural, institusional, agama, maupun konteks historis dan geografis. Pengajaran sebaiknya memakai metode induktif. Bukan deduktif. Jadi anak didik memahami realitas dan kenyataan empirik Indonesia yang penting bagi keparipurnaan lulusan lembaga pendidikan. (51)
(Dr H Asyhari SE MM, dosen Fakultas Ekonomi Unissula Semarang)
Sumber: Suara Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar