Kematian Muammar Khadafi, seorang despot yang menguasai Libya selama 42 tahun, mungkin dirayakan dengan diam-diam di ibukota negara-negara Barat. Namun, dari Moskow, Rusia, Perdana Menteri Sergei Lavrov menyatakan bahwa pembunuhan sang kolonel telah melanggar Konvensi Jenewa.
"Kita tentu saja harus bersandar pada hukum internasional. Sebagaimana termaktub, seseorang yang ditahan akibat konflik bersenjata mesti diperlakukan dengan cara tertentu. Dengan alasan apa pun, nyawa seorang tawanan perang tak seharusnya dihabisi," tegasnya seperti dikutip laman The Independent, Minggu 23 Oktober 2011.
Rusia bersikap kritis terhadap aksi militer NATO di Libya. Menurut dia, tindakan yang mereka ambil membahayakan keselamatan masyarakat umum.
Bagi Moskow, kini masalahnya adalah apakah pemerintahan Libya yang baru bisa menghormati kontrak yang telah ditandatangani oleh Khadafi. Sebab, selain kontrak minyak dan perdagangan senjata, perusahaan kereta api Rusia telah menyetujui perjanjian untuk membangun rel kereta api antara Sirte dan Benghazi senilai Rp28,2 triliun.
China awalnya menyatakan keberatan dengan penyerangan terhadap tentara Khadafi. Namun, pada pekan-pekan terakhir yang menentukan, pemerintah Negeri Tirai Bambu itu akhirnya menyokong para pemberontak.
Reaksi yang muncul dari para musuh bebuyutan Amerika Serikat beragam. Presiden Venezuela, Hugo Chavez, menyebutkan bahwa sang tiran mati dalam keadaan "syuhada."
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Iran membuang jauh-jauh penyetaraan antara revolusi Libya dan protes anti-pemerintah di Iran. Kematian Khadafi disebut sebagai "kemenangan besar." Namun, mereka berharap semua kekuatan asing harus angkat kaki dari Libya secepatnya.
Di lain pihak, seorang politisi Rusia menyayangkan tewasnya Kolonel Khadafi. Tapi, ia sepenuhnya percaya bahwa Khadafi akan mengalami reinkarnasi.
Sumber: VivaNews
0 komentar:
Posting Komentar