Optimisme pemimpin negara-negara Eropa untuk mengatasi krisis utang di zona euro hingga Rabu malam 26 Oktober 2011 meredup. KTT Uni Eropa yang digelar di Brussels, Belgia, belum mencapai kesepakatan komprehensif.
Upaya penyelamatan Eropa yang dituang dalam rancangan perjanjian meliputi sejumlah aspek kritikal, rupanya belum bisa mencapai titik temu di meja diskusi para pemimpin Eropa itu. Salah satu di antaranya, adalah aturan penggunaan dana talangan bagi kawasan ini, termasuk Yunani.
Sejak awal pertemuan itu, sebanyak 17 pemimpin zona euro memang tak yakin bisa merumuskan langkah-langkah terobosan mendasar mengatasi krisis utang di kawasan Eropa.
Kondisi itu berbeda beberapa pekan lalu. Saat itu, Prancis dan Jerman menyatakan keyakinannya dapat mencari jalan keluar mengatasi krisis utang, dan gejolak ekonomi selama dua tahun terakhir.
Menurut ekonom Senior Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, jalan buntu di pertemuan itu terjadi akibat pasar sudah berasumsi bahwa sekitar 50 persen surat utang Yunani akan tertunggak.
Menunggaknya surat utang Yunani akan berimbas terhadap kenaikan biaya pendanaan (funding cost) negara seperti Portugal, Irlandia, Spanyol, dan Italia.
"Akibatnya, funding cost sektor swasta negara itu juga akan naik," kata Fauzi. "Jadi, yang awalnya adalah krisis fiskal negara, kini bisa menjadi krisis sektor korporasi, karena cost mereka naik sesuai dengan kenaikan funding cost pemerintah," dia menjelaskan.
Agar krisis utang di Yunani tak melebar, kata Fauzi, perbankan di Eropa harus disuntik modal segar. Persoalannya siapakan yang akan menyuntik dana segar itu?
Sektor swasta dalam perkiraan Fauzi akan melakukan penyuntikkan dana itu. Sedangkan bila pemerintah yang bergerak, kondisi juga tak jauh berbeda. "Dengan rasio utang terhadap PDB rata-rata sekitar 100 persen, tentu akan berat juga," ujarnya.
Asia terkena?
Imbas krisis di Eropa bakal menjalar ke Asia, bagi Fauzi tampaknya bukan hal yang mustahil. Soalnya, jika perbankan di Eropa terpuruk, maka Asia pasti akan terkena. Sebab, sekitar 40 persen pendanaan perbankan di Asia berasal dari perbankan Eropa. "Kalau perbankan Asia terpukul, maka perbankan domestik juga akan terseret," ujarnya.
Jika biaya pinjaman dalam dolar AS naik, dia menjelaskan, otomatis capex juga naik. Meski demikian, perbankan dalam negeri sendiri relatif baik, karena rasio kecukupan modal (CAR) terjaga dengan baik. "Tapi, dari sisi pembiayaan sektor swasta untuk pembiayaan capex (belanja modal) dan investasi akan terbatas. Likuiditas mengering, karena imbas dari krisis Eropa," kata dia.
Dia khawatir, jika krisis utang di Eropa berlarut-larut, negara-negara kawasan Asia termasuk Indonesia bisa saja terkena dampaknya. Jika ekonomi global memburuk, pasar modal sebagai indikator masuknya investor juga akan terimbas.
Perusahaan yang akan melakukan aksi korporasi seperti penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) dan rights issue akan terhambat. Otomatis kemampuan mereka mengontrol belanja modal menjadi terbatas.
Kondisi ekonomi Eropa yang tak kunjung selesai itu pun dikhawatirkan akan berdampak pada sektor riil dalam 6-12 mendatang. Persoalan muncul tatkala perusahaan membutuhkan belanja modal dalam mata uang asing.
"Bank Indonesia paling bisanya hanya intervensi di pasar valuta asing. Tidak mungkin mereka intervensi pembiayaan capex ke sektor swasta," ujarnya.
Dua pilihan
Melihat situasi di Eropa itu, dan kemungkinan dampak luas ke negara kawasan termasuk Asia, pertemuan negara-negara Eropa menjadi penting. Ada konsensus luas mengenai kebutuhan dana sebesar 110 miliar euro atau sekitar US$150 miliar untuk disuntikkan ke dalam sistem perbankan Eropa.
Dana itu untuk menyangga potensi gagal bayar (default) surat utang Yunani dan menjalarnya krisis keuangan. Namun, hanya ada sedikit kejelasan tentang dua bagian kritikal dari rencana itu.
Satu elemen adalah soal meningkatkan dana talangan yang saat ini sebesar 440 miliar euro, yang disebut Fasilitas Stabilitas Keuangan Eropa (EFSF). Elemen lain difokuskan pada upaya untuk mengurangi kewajiban utang Yunani dengan makin dalamnya kerugian investor swasta --bank-bank dan perusahaan asuransi besar-- akibat obligasi Yunani yang mereka pegang.
Para pemimpin Uni Eropa diperkirakan bakal mempertimbangkan dua metode untuk meningkatkan EFSF. Pertama, menggunakannya untuk memberikan jaminan bagi para pembeli surat utang zona euro yang baru.
Kedua, menggunakan skema itu untuk membuat kendaraan investasi khusus yang akan menarik uang dari sovereign wealth fund dan investor lain untuk membeli utang. Mereka juga mungkin akan bersepakat untuk mengombinasikan kedua opsi itu.
Sementara itu, Irlandia berharap dapat memanfaatkan setiap kesepakatan untuk meningkatkan upaya penyelamatan zona euro. Upaya itu juga dimaksudkan untuk mengurangi beban utang pemerintah.
Perdana Menteri Irlandia, Enda Kenny mengatakan pemerintahannya akan memposisikan diri sebagai negara yang 'berjuang' dalam proses pemulihan zona euro. Dia juga ingin memastikan kerugian tinggi di sektor swasta akibat krisis utang Yunani tidak memberikan sentimen negatif terhadap obligasi Irlandia.
"Kami tidak ingin melihat kemajuan yang susah payah kami bangun telah dirusak oleh peristiwa di luar kendali kami," kata Kenny dalam pidatonya sebelum menghadiri KTT Uni Eropa di Brussels, seperti dikutip Reuters.
Pada pertemuan puncak para pemimpin zona euro Juli lalu disepakati bahwa EFSF dapat digunakan untuk proses rekapitalisasi bank. Selain itu, Fasilitas Stabilitas Keuangan Eropa itu juga dapat untuk membeli obligasi negara di pasar sekunder.
Fasilitas itu juga dapat menawarkan Irlandia kesempatan membiayai kembali utang, meningkatkan profil pendanaan, dan mendorong keluarnya program bailout. "Kami akan terus mencari upaya perbaikan dalam kaitannya dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh negara dalam menyelamatkan sistem perbankan," kata Kenny.
Sumber: VivaNews
0 komentar:
Posting Komentar