Ambisi Bank Indonesia untuk segera menyederhanakan penyebutan mata uang rupiah pupus sudah. Ketukan palu sidang oleh Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, saat menutup rapat paripurna penutupan masa persidangan II tahun 2011-2012 di DPR, memastikan hal itu.
Rapat akhirnya menyepakati hanya 64 rancangan undang-undang yang akan dibahas pada program prioritas legislasi nasional tahun depan (Prolegnas 2012) . Dan RUU Redenominasi atau penyederhanaan rupiah tidak termasuk di antaranya. "Saya tidak baca, tidak masuk," ujar Nusron Wahid, anggota Komisi XI DPR, melalui pesan singkat, saat sidang sedang berlangsung pada Jumat, 16 Desember 2011.
Tak masuknya RUU Redenominasi, kata Wakil Ketua Komisi XI, Harry Azhar Azis, karena belum ada izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Itu harus ada persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM. Bahkan, dari Menteri Keuangan pun belum ada persetujuan."
Redenominasi adalah penyederhanaan penyebutan mata uang tanpa memangkas nilainya. Berbeda dengan sanering yang memotong nilai mata uang, seperti pernah dilakukan pemerintah pada 1959 silam.
Ide penyerderhanaan rupiah oleh Bank Indonesia sudah muncul sejak lama, sekitar tahun 2003. Bank sentral menilai hal itu perlu dilakukan untuk efisiensi angka. Pasalnya rupiah adalah mata uang ke tiga dengan angka terbesar setelah Vietnam.
Wacana ini sempat membuat heboh masyarakat pada Agustus tahun lalu saat Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, akhirnya mengumumkan lembaganya sedang mengkaji redenominasi rupiah. Rencana itu memicu kontroversi di masyarakat, ada yang setuju ada yang tidak karena masih trauma dengan pengalaman sanering pada 1959.
Wakil Presiden Boediono lalu memerintahkan bank sentral untuk membuat kajian menyeluruh agar bisa diputuskan oleh pemerintah. Bank sentral kemudian akhirnya cooling down dan berkonsentrasi menyelesaikan kajian agar tak memicu kepanikan masyarakat.
Memangkas Tiga Nol
Lama tak terdengar, ide redenominasi kembali muncul setelah Darmin mengatakan bahwa kajian RUU itu telah final di tangan bank sentral dan sudah diserahkan kepada pemerintah untuk dibahas dan kemudian diajukan ke parlemen untuk dibuat menjadi undang-undang.
Bank sentral sebelumnya juga pernah mengusulkan agar rencana redenominasi itu dimasukkan dalam pembahasan RUU Mata Uang. Namun usulan itu ditentang oleh anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR.
Pernyataan Darmin itu disampaikan setelah acara Bankers Dinner, acara tahunan BI dengan para bankir yang membahas kebijakan bank sentral selama setahun ke depan. Dia mengatakan, pembahasan ini dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. "Kami sudah selesaikan draf RUU-nya. Jadi bolanya kini di tangan Pak Boediono," ujar Darmin, pekan lalu.
Deputi Gubernur BI, Ardhayadi, menjelaskan bahwa RUU itu mengatur hal-hal pokok seperti kapan pelaksanaan redenominasi, bagaimana tahapannya, berapa jumlah nol yang dihapus, penggunaan rupiah baru, dan tata cara pembulatan.
Secara umum, kata Darmin, draf yang diserahkan kepada pemerintah tak banyak berubah seperti rencana awal yang pernah disampaikan. Satu hal yang pasti, bank sentral menyarankan menghilangkan angka tiga nol, sehingga Rp1.000 menjadi Rp1. Besaran di bawah Rp1.000 akan diubah menjadi sen.
Darmin menilai pecahan mata uang terbesar di Indonesia, Rp100.000, nilainya tak cukup besar. Dia memberikan pembanding, pecahan mata uang dolar Amerika yang paling banyak digunakan di pasar adalah US$100, atau bernilai sama dengan Rp900.000.
Jika pembahasan RUU Redenominasi dilakukan pada 2012, maka sejak itu akan dimulai sosialisasi hingga dua tahun. Sesudah itu akan dilakukan masa transisi selama tiga tahun. Pada periode itu, harga barang akan ditulis dengan dua harga berbeda, mata uang baru dan lama. Masyarakat juga menggunakan dua mata uang lama dan baru. Ketika itu, BI akan mengganti mata uang lama yang rusak dengan mata uang baru.
Tahap ketiga, setelah masa transisi, mata uang rupiah lama akan benar-benar habis. Tahap keempat, yang akan dijalankan 7-10 tahun, adalah menggunakan mata uang baru dengan nilai uang lebih kecil, termasuk sen.
Juru Bicara Wakil Presiden, Yopie Hidayat, menjelaskan Boediono berperan menjembatani bank sentral dan pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan. “Namun, penentu keputusan tetap presiden.”
Sikap Wapres soal redenominasi, dia mengatakan, “Baik dilakukan, namun harus dengan persiapan yang matang.”
Jika tidak matang akan menimbulkan salah paham dan dampak yang tak diinginkan, seperti anggapan bahwa redenominasi sama dengan sanering.
Redenominasi, lanjut Yopie, berguna untuk efisiensi. Sistem ini sudah banyak digunakan masyarakat, seperti harga menu di restoran yang sudah disingkat, dengan menghilangkan nol tiga. "Ini sudah puluhan tahun penggunaan sistem yang sekarang. Untuk itu harus dibahas secara matang.”
Uang Sampah
Sebenarnya seberapa perlukah redenominasi rupiah? Direktur Currency Management Farial Anwar menilai bahwa saat ini rupiah masuk dalam kategori mata uang "sampah".
Ia mengutip laporan Foxnews yang berjudul 10 the Worst Currencies pada 2008. Negara-negara itu adalah Zimbabwe (US$1 = 642 ribu triliun dolar Zimbabwe), Somalia (US$1 = 35 ribu shillings), Turkemanistan (US$1 = 24 ribu manat), Vietnam (US$1 = 16,975 dong), dan Sao Tome dan Principe (US$1 = 14.350 dobra).
Lima negara yang lain adalah Indonesia (US$1 = 11.000 rupiah, saat ini Rp9.000), Iran (US$1 = 10.100 rial), Laos (US$1 = 8.600 kip), Papua New Guinea (US$1 = 5.100 kina) dan Paraguay (US$1 = 4.600 guarani).
Di Zimbabwe, untuk membeli telur membutuhkan uang 35 miliar dolar Zimbabwe. Demikian juga Indonesia, meski tak separah Zimbabwe, bila bicara anggaran negara sudah mencapai ribuan triliun. "Ini susah menyebutnya," kata Farial.
Karena itu, dia termasuk orang yang setuju dengan usulan redenominasi rupiah. "Masa Indonesia disamakan dengan negara-negara yang susah dicari di peta."
Namun, meski diperlukan, menurut Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasi, redenominasi bukan sesuatu yang sangat mendesak untuk dibahas saat ini.
Kader Partai Demokrat itu menilai pemerintah dan BI seharusnya lebih berkonsentrasi pada penerapan dua undang-undang yang baru disahkan DPR, yaitu UU Otoritas Jasa Keuangan dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pemerintah dan BI juga diminta untuk lebih fokus dalam menghadapi krisis Eropa dan Amerika tahun depan.
Dan memang akhirnya DPR memutuskan untuk tidak memasukan RUU Redominasi dalam Prolegnas 2012.
Apakah akibatnya? "Apapun juga, biarkan proses berjalan. Saya belum bisa menjawab," kata Darmin Jumat, 16 November 2011.
Yang jelas, kata dia, jika tak dibahas mulai tahun depan, maka pelaksanaan redenominasi akan menjdai lebih lama lagi. Darmin tidak menjelaskan seberapa lama rencana tersebut akan molor.
Namun, seorang pejabat bank sentral memperkirakan, pembahasan penyederhanaan rupiah baru bisa terlaksana sekitar 5-10 tahun lagi jika tidak dibahas di parlemen mulai tahun depan. “Perhitungannya sederhana, tahun 2013 dan 2014 pemerintah dan DPR pasti disibukkan dengan pemilu. Saat itu, siapa yang akan berpikir lagi soal redenominasi?”
Setelah pemerintah baru terbentuk pasca pemilu 2014, lanjut dia, masih diperlukan waktu untuk mempelajari dan mengkajinya kembali. “Jadi hitungan kasar, sekitar lima sampai sepuluh tahun lagi.”
Belajar dari pengalaman di Turki ketika menyederhanakan mata uangnya, kata dia, membutuhkan waktu 20 tahun. Yang jelas, lanjutnya, redenominasi membutuhkan dua syarat mutlak: dukungan politik dan kestabilan ekonomi. “Soal politik kita sudah tahu sama-sama hasilnya. Sedangkan soal ekonomi, faktanya Indonesia kini memang sedang dibayang-bayangi krisis global.”
Apakah hal ini berarti ide redenominasi akan layu sebelum berkembang? Soal ini, Deputi Gubernur BI, Hartadi, masih tetap optimis. “Masih ada beberapa upaya. Meski belum masuk, tapi bisa diupayakan, apakah dalam tambahan pengajuan RUU. Itu harus dicoba terus supaya program bisa berjalan."
Sumber:
VivaNews