Rencana pemerintah menaikan tarif dasar listrik sebesar 10 persen pada tahun 2012 ternyata belum mulus. Kementerian Keuangan masih harus menunggu hasil pembahasan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII DPR yang baru berlangsung pada Januari 2012 mendatang.
"Keputusan TDL akan dibahas pada Januari 2012, menunggu review Kementerian ESDM dan dibahas oleh Komisi VII. Apakah akan ada kenaikan TDL, akan diputuskan disana," kata Wakil Menteri Keuangan Anni Ratnawaty di Jakarta, Senin 31 Oktober 2011.
Pemerintah dalam APBN 2012 telah mengalokasikan subsidi listrik sebesar Rp45 triliun. Anggaran itu turun 32,1 persen dari alokasi subsidi pemerintah pada APBN-Perubahan Tahun 2011, yang jumlahnya sebesar Rp66,33 triliun.
Anni menjelaskan, subsidi sebesar Rp45 triliun dalam APBN 21012 sudah memasukan asumsi kenaikan TDL sebesar 10 persen per April 2012. Dengan catatan, kenaikan TDL tidak dilakukan untuk pelanggan dengan daya listrik sebesar 450 Watt.
Rencana kenaikan tarif listrik tersebut disambut pro dan kontra di tengah masyarakat. Bukan hanya pengusaha yang mengaku terkena dampak dari kebijakan itu saja yang protes, kalangan politisi juga sudah siap menolak dan mempersoalkan manajemen pemerintah dalam ketenagalistrikan.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Imam secara tegas menolak rencana kenaikan TDL yang akan diberlakukan mulai April 2012 itu.
Kalangan pengusaha juga menilai bahwa menaikkan TDL di saat ekonomi belum menentu sungguh akan menyusahkan. Ketua Bidang Usaha Kecil Menengah (UKM) Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) Tri Harsono menegaskan bahwa rencana kenaikan TDL pada tahun depan akan menjadi beban beruntun yang harus dipikul pengusaha, khususnya pebisnis UKM.
Kenaikan TDL seharusnya, lanjut Tri, mestinya diarahkan agar kebijakan anggaran bisa berjalan lebih sehat dan berdampak pada peningkatan daya saing dunia usaha. Subsidi bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
Hipmi mencatat, setelah beberapa kali mengalami kenaikan listrik, industri kecil dan menengah (IKM) justru tidak merasakan kompensasi yang jelas. Akibatnya, beban pengusaha IKM ini justru meningkat tajam.
Tanggapan lebih netral disampaikan Presiden Direktur dan CEO PT Bakrieland Development Tbk, Hiramsyah Thaib. Menurut bos perusahaan properti ini, pemerintah sah-sah saja untuk menaikan TDL pada tahun 2012. Namun, tegas Hiramsyah, pemerintah juga harus memberikan solusi terhadap buruknya sarana infrastruktur penunjang serta pemberian insentif.
Hiramsyah malah khawatir, kenaikan TDL hanya akan membebani masyarakat secara keseluruhan. Dampak kenaikan TDL dikhawatirkan berpengaruh kepada makro ekonomi, di mana daya beli masyarakat yang bisa terganggu.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator pelaksana kebijakan di bidang kelistrikan menegaskan bahwa perusahaan itu hanya mengikuti apapun keputusan yang diterbitkan oleh pemerintah.
"PLN tidak bisa menilai. Itu kebijakan pemerintah dan setiap negara mempunyai kebijakannya masing-masing. Itu tergantung politik dari masing-masing pemerintahan negara," kata Sekretaris Perusahaan PLN Ida Bagus G Mardawa ketika dihubungi VIVAnews.
Namun berdasarkan data yang ada, kata Mardawa, secara umum rata-rata tarif listrik di Indonesia merupakan yang termurah untuk kawasan Asia Tenggara. Apalagi untuk listrik rumah tangga, tarif listrik di Tanah Air paling murah dibandingkan negara seperti Singapura dan Malaysia.
Sebelum kenaikan tarif dasar listrik (TDL), tarif listrik rumah tangga di Indonesia sebesar Rp548 (per KwH), lebih murah dari Thailand sebesar Rp829, Vietnam Rp848, Hong Kong Rp1.307, Filipina Rp1.449, dan Singapura Rp1.453.
Sementara itu, untuk tarif listrik untuk industri sebetulnya tarif listrik Indonesia masih cukup kompetitif. Sebelum TDL industri dinaikkan, sektor industri di Indonesia membayar listrik Rp621 (per KwH), sementara Thailand Rp812, Malaysia Rp699, Vietnam Rp537, Filipina Rp1.551, dan Singapura Rp1.143.
"Listrik kita murah karena masih ada subsidi," kata Mardawa. Ketika ditanya pola yang paling ideal untuk kenaikan TDL, Mardawa lagi-lagi mengembalikan hal itu kepada pemerintah. Sebab, setiap pemerintah senantiasi memiliki kebijakan sendiri di bidang ketenagalistrikan. "Di Malaysia, sektor pertanian masih disubsidi. Jadi sangat sulit dibilang mana yang lebih baik dalam bidang tenaga listrik," ujarnya.
Sebagai informasi, Secara keseluruhan, dalam APBN 2012 total belanja subsidi pemerintah sebesar Rp208,9 triliun, lebih rendah dibandingkan APBN-P 2011 sebesar Rp237,2 triliun. Untuk subsidi energi dialokasikan Rp168,6 triliun, yaitu PLN Rp45 triliun dan sisanya untuk BBM sebesar Rp123,6 triliun.
Memang dengan anggaran subsidi yang mencapai ratusan triliun tersebut ,perlu disusun strategi yang pas dalam pengelolaan anggaran dan efisiensi listrik di tanah Air. Apalagi jika strategi itu bisa memunculkan alternatif kebijakan agar TDL tidak perlu naik.
Sohibul Imam mengusulkan dua solusi untuk menghindari kenaikan TDL tersebut. Pertama, dengan memasok gas untuk pembangkit listrik sebagaimana komitmen pemerintah. Solusi kedua, lanjut Sohibul, adalah konsistensi pemerintah dalam menyediakan kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik, sesuai dengan harga acuan batubara (Indonesian Coal Index).
Pemerintah sendiri terus berupaya berhemat dalam soal listrik ini. Anni Ratnawaty menegaskan bahwa salah satu cara untuk menghemat subsidi listrik adalah dengan menurunkan susut jaringan listrik (loses). Selain itu PLN diminta untuk meningkatkan pasokan gas dan batubara, menggantikan bahan bakar minyak, untuk pembangkit listrik PLN.
Menanggapi polemik perlu tidaknya kenaikan tarif listrik, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyatakan saat ini merupakan momen paling tepat untuk menaikan TDL. Pelaksanaan kenaikan TDL dinilai malah akan menguntungkan semua pihak.
"Ini momen terbaik, kalau tidak akan membebani APBN lebih besar lagi," katanya. Mengapa menjadi momen terbaik? Sebab, lanjut Aviliani, saat ini tidak ada kenaikan bahan pokok yang sangat signifikan. Situasi itu menyebabkan laju inflasi Indonesia dalam beberapa tahun belakangan cenderung rendah.
Bagi Aviliani, listrik untuk sebagian kalangan industri bukanlah komponen utama yang bisa mempengaruhi biaya produksi perusahaan. Hal ini berbeda dengan bahan bakar minyak (BBM) yang banyak menyedot anggaran perusahaan mengingat biaya trasnportasi yang bisa mencapai 15 persen.
Kalangan industri juga tidak bisa menggunakan dalih krisis ekonomi global yang menjadi alasan penundaan kenaikan tarif listrik. Justru dengan kenaikan TDL dan penghematan anggaran APBN sebesar Rp40 triliun, pemerintah bisa menggunakan dana efisiensi tersebut untuk pembangunan infrastruktur. "Sehingga industri bisa memiliki daya saing lebih baik," katanya.
Dari sisi rumah tangga, Aviliani menilai kenaikan tarif listrik justru akan memaksa masyarakat untuk melakukan upaya penghematan. Situasi itu juga akan mendorong kalangan industri untuk menggunakan sumber listrik yang bersumber dari pasokan sendiri.
"Perlu digerakan penghematan, dalam arti orang tidak lagi tergantung pada PLN. Tapi tentunya mereka harus memperoleh insentif," ujar Aviliani.
Kendati sepakat untuk kenaikan tarif listrik, Aviliani masih menilai subsidi tetap dibutuhkan oleh masyarakat yang menggunakan listrik dengan daya 450 watt. Sebagai masyarakat yang digolongkan dalam kategori miskin, pemberian subsidi masih mutlak dibutuhkan.
"Untuk level tertentu seperti 1.200 watt, tidak perlu subsidi karena dianggap sudah mampu," katanya. Naik atau tidak memang masih tergantung pada hasil rapat pemerintah dengan anggota dewan di Senayan.
Sumber: VivaNews
0 komentar:
Posting Komentar