Mengawali tahun 2012, perekonomian dunia ternyata belum memberi harapan yang menggembirakan. Kabar buruk kini datang dari keputusan lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) yang menurunkan peringkat surat utang sembilan negara di Eropa pada Jumat 13 Januari 2012 (Friday the 13Th) waktu New York .
Prancis, yang selama ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Eropa bersama Jerman, mengalami penurunan satu tingkat, dari AAA menjadi AA+. Nasib yang sama juga dialami Austria.
Malta, Slovakia, dan Slovania pun mengalami penurunan satu tingkat. Rekan-rekan mereka, Italia, Spanyol, Portugal, dan Siprus menderita penurunan dua peringkat. Bahkan, status kredit dua negara yang disebut terakhir itu turun ke katagori "sampah" (junk).
Namun langkah S&P tak berhenti di situ. Lembaga rating ini, pada Selasa, 17 Januari 2012 atau Senin waktu AS, kembali mengumumkan penurunan peringkat mata uang bailout European Financial Stability Facility (EFSF) satu tingkat menjadi AA+ dari sebelumnya AAA.
EFSF merupakan lembaga yang didirikan oleh 17 pemerintah yang memiliki mata uang tunggal Eropa pada Mei 2012 dan sejauh ini telah digunakan untuk memberikan pinjaman darurat kepada Irlandia dan Portugal. Hal ini juga diharapkan dapat berkontribusi bagi langkah bailout ke-2 Yunani.
EFSF memiliki kapasitas pinjaman 440 miliar euro yang bergantung pada jaminan terutama negara-negara euro yang memiliki peringkat AAA. Saat ini tercatat hanya ada empat negara dengan peringkat itu yaitu Jerman, Luksemburg, Finlandia, dan Belanda.
Kondisi inilah yang menjadi kekhawatiran terbesar para pelaku ekonomi di wilayah Eropa. Dibandingkan penurunan peringkat surat utang sembilan negara Eropa, turun kelasnya surat utang EFSF justru bakal membuat dunia bisnis semakin waspada.
Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti, menilai pemangkasan peringkat surat utang 9 negara Eropa ditambah EFSF telah menunjukan bahwa kondisi Eropa sudah semakin buruk. Bahkan, Eropa diperkirakan akan semakin sulit mencari dana talangan untuk menyelamatkan sektor keuangan mereka.
"Diharapkan kalau EFSF menerbitkan bonds berarti underlying-nya (penjaminan) adalah kemampuan membayar anggotanya. Sekarang kan kemampuan membayarnya memburuk," ujar Destry.
EFSF, lanjut dia, akan menerbitkan obligasi yang dananya digunakan untuk menalangi beberapa bank Eropa. Obligasi itu menggunakan penjaminan yang berasal dari kemampuan membayar negara anggotanya, yang berasal dari negara zona euro.
"Setelah rating Prancis turun, dia sendiri mengalami kesulitan keuangan. Lalu yang menjadi pertanyaan kalau EFSF mau menerbitkan obligasi bagaimana dia bisa membayarnya," tuturnya.
Tak kurang, Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Agus Martowardojo pun angkat bicara. Menurut mantan bankir ini, penurunan peringkat surat utang 9 negara di Eropa menunjukan krisis terus berlangsung dan berpotensi memburuk.
Bahkan, Menkeu mengakui jika penurunan peringkat itu akan berdampak pada negara-negara di luar Eropa, termasuk Indonesia.
Agus memperkirakan, dalam kondisi seperti ini, investor akan mengurangi portofolio atau meminta produk investasi premium karena risiko yang bertambah. Investor kemungkinan akan lebih memiliki jangka waktu lebih pendek dan meminta imbal hasil yang tinggi. "Itu yang akan terjadi, jadi kita mesti waspada," katanya.
Meski demikian, pemerintah memastikan tetap akan menerbitkan surat utang negara seperti rencana semula. Selain itu, Agus juga berjanji akan lebih berkonsentrasi dalam merealisasikan anggaran yang lebih baik di awal tahun, mulai dari pembelian hingga tender pengadaan barang jasa.
Senada dengan pimpinanannya, Dirjen Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto memandang ada peluang dari penurunan peringkat utang Prancis dan negara Eropa lainnya. Dia menganggap penurunan peringkat itu akan menguntungkan surat utang negara (SUN) Indonesia.
Rahmat menjelaskan, krisis secara tidak langsung akan membuat investor menyerbu surat berharga Amerika Serikat (US Treasury). Imbasnya, yield surat berharga AS itu akan semakin turun.
Pada tahap inilah, Indonesia akan menikmati penurunan imbal hasil dari surat utang berdenominasi mata uang asing. "Kalau US Treasury turun, maka base rate-nya turun, yield turun," kata Rahmat yang menyatakan benchmark yield surat utang Indonesia adalah US Treasury.
Di tengah optimisme pemerintah itu, kabar kurang menggembirakan tampaknya bakal terjadi di pasar modal tanah air. Direktur Utama PT Trimegah Securities Tbk, Omar S. Anwar, kepada VIVAnews menyatakan investor asing kemungkinan untuk sementara akan menarik keluar dananya dari Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, penarikan dana investasi oleh para pemodal asing ini akan mempengaruhi pasar modal tanah air paling tidak hingga akhir semester I-2012.
"Sekarang kemungkinan fund manager asing yang ada di Indonesia akan menarik dulu dananya untuk mengamankan kondisi pendanaan investasi di negara asalnya," kata Omar.
Omar memastikan pengelola dana dari Prancis akan mengamankan investasi di luar negeri untuk ditarik terlebih dahulu ke negaranya. Alasannya, investor korporasi maupun individu akan berpikir untuk mengamankan investasinya di negara asal.
Aksi mereka tersebut tentunya akan membuat volatilitas di pasar modal kembali meningkat. "Kalau terjadi downgrade (negara) yang lain, maka volatilitas akan semakin tinggi," ujarnya.
Beruntung, penurunan peringkat utang 9 negara Eropa yang diikuti dengan rating EFSF sedikit teredam oleh kabar gembira dari China. Negara Tirai Bambu ini melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2011 naik 8,9 persen atau diatas prediksi sejumlah ekonom.
Kabar tersebut tentu saja disambut positif pelaku ekonomi di dunia, khususnya Eropa. Dikutip VIVAnews dari Reuters, indeks FTSE Eurofirst 300 yang merupakan indeks saham bursa Eropa tertinggi, ditutup menguat 0,8 persen menjadi 1.034,18 poin. Pencapaian ini merupakan yang tertinggi sejak awal Agustus lalu.
Indeks STOXX Europe 600 Basic Resources pada pembukaan perdagangan bursa Eropa hari ini merupakan indeks dengan kenaikan sektor tertinggi yaitu sebesar 1,5 persen.
Indeks MSCI world equity index (MIWD00000PUS) mengalami kenaikan sekitar 0,8 persen. Selain itu, nilai tukar euro terhadap dolar AS juga naik 0,5 persen menjadi $1,2729.
Namun, peringatan bahaya belum berhenti bagi Indonesia. Destry mengingatkan pemerintah terhadap potensi terjadinya efek kepanasan (overheating) pertumbuhan ekonomi yang bisa terjadi pada dua tahun mendatang.
Potensi tersebut bisa muncul jika masalah penyediaan lahan dan sektor infrastruktur tak kunjung terselesaikan. "Kita tidak mau seperti India di mana pertumbuhan tinggi tapi inflasi juga tinggi karena telat pembangunan infrastrukturnya," ujar dia.
Untuk saat ini, diakui Destry, Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi sekitar enam persen dan kondisi kekinian masih mampu menyediakan pasokan kebutuhan. Hal itu terlihat dari kapasitas produksi nasional yang masih mencapai 70-80 persen.
"Kalau dari sisi permintaan masih naik, kapasitasnya mentok. Itu mungkin masih bisa bertahan dua tahun. Baru setelah itu bisa overheating," ujarnya.
Sumber: VivaNews
0 komentar:
Posting Komentar